Gus Dur, Bapak Pluralisme Indonesia yang Menginspirasi


Gus Dur, Bapak Pluralisme Indonesia yang Menginspirasi

Indonesia pada akhir tahun 2009 kehilangan seorang tokoh besar. Sosok yang bernama lengkap Abdurahman Wahid atau biasa kita kenal Gus Dur meninggal dunia pada hari Rabu 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18.45 WIB. Sebagai seorang yang pernah menjadi orang nomor satu di Indonsia kepergian Gus Dur meninggalkan duka yang sangat mendalam bagi banyak orang. 

Sumbangsih terbesar Gus Dur terhadap bangsa adalah perjuangannya yang pantang mundur dalam mengusung pluralisme. Sehingga tak heran Kepergian sang Ketua Umum PBNU dua priode tersebut juga ditangisi oleh kelompok minoritas yang selama ini selalu dibela oleh Gus Dur. Pasalnya selama hidupnya Gus Dur selalu menjadi tokoh terdepan dalam memerangi sikap-sikap intoleran dari suatu penganut agama.

Gebrakan paling fenomenal salah satu Pendiri LSM Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) tersebut adalah menjadikan Konghucu agama resmi negara. Gus Dur juga mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang kegiatan warga Tionghoa dan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.

Berkat sikap dan perjuangan Gus Dur dalam memperjuangkan pluralisme tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjulukinya sebagai sebagai Bapak Pluralisme yang patut menjadi tauladan bagi seluruh bangsa (Antaranews.com, 30/12/2010). Menurut SBY Pluralisme dan multikulturalisme yang diajarkan Gus Dur, tidak hanya menjadi inspirasi elemen bangsa ini, tetapi bangsa-bangsa di dunia. Oleh sebab itu, Gus Dur merupakan Bapak Pluralisme yang telah memberikan inspirasi bagi semua masyarakat Indonesia.

Lahir dan Besar di Lingkungan Kyai

Gus Dur dilahirkan dari keluarga pesantren pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Solihah. Dia dilahirkan pada 7 September 1940 dengan nama Abdurrahman Addakhil. Pendidikan formalnya ia tempuh di SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.

Selain buku-buku Keislaman ia juga diajarkan buku-buku buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Setamat dari SD pada 1954 ia naik ke jenjang SMP. Namun karena tak naik kelas oleh ibunya ia dimasukkan pesantren Krapyak Yogyakarta asuhan KH. Ali Maksum. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, ia pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang.

Pada tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Namun di sini Gus Dur tidak menyelesaikan pendidikannya. Ia kemudian melanjutkan studinya di Universitas Baghdad dan mampu menyelesaikan studinya di sini. Seusai lulus di Baghdad tahun 1970, Gus Dur ingin melanjutkan studinya di perguruan terkemuka di Eropa, namun keinginannya itu kandas lantaran pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui. Kemudian ia memutuskaan kembali ke Indonesia pada tahun 1971.

Hingga akhir hayatnya Gus Dur tidak pernah berhasil melanjutkan studi S3-nya. Meski gagal melanjutkan studi Doktornya, ia mendapatkan banyak gelar doktor "Honoris Causa" dari sejumlah perguruan tinggi ternama di Jepang, Korea Selatan, Perancis, Thailand, dan Israel. Pemikiran, ide, dan wawasannya diakui banyak kalangan bahkan tidak berlebihan kalau banyak yang menilai pemikiran dan wawasan tidak kalah dengan dr bahkan profesor. Terutama pemikirannya dalam mengusung pluralisme. Bahkan ia juga turut menginspirasi banyak orang.

Selepas kepergian Gus Dur, setidaknya banyak yang mencoba melanjutkan cita-citanya dalam mengusung isu-isu pluralisme. Salah satunya Gita Wirjawan yang saat ini tercatat sebagai peserta konvensi Calon Presiden Partai Demokrat. Sebagai tokoh muda lulusan Harvard University Gita memiliki pemikiran yang moderat. Gita yang juga Ketua Umum PB PBSI tersebut dalam beberapa kesempatan menegaskan pentingnya sikap pluralisme bagi masyarakat Indonesia. Karena dengan menjaga sikap seperti itu kerukunan antar pemeluk agama bisa terwujud.

Seperti diberitakan sebelumnya, mantan Menteri Perdagangan ini turut menyambangi tempat pengungsian warga Syi'ah di Sidoarjo, Jawa Timur. Sebagai muslim moderat Gita paham betul hak-hak kaum minoritas. Warga Syi'ah memiliki hak yang sama di mata UU Indonesia. Pada kesempatan itu Gita berjanji akan mencoba membantu pengungsi warga Syi'ah menyelesaikan masalah ini dengan mengkomunikasikan kepada pihak-pihak terkait. Sikap Pluralisme Gita itu juga terlihat saat dia berkunjung ke Bali. Menurut Gita Bali selama ini terkenal dengan sikap pluralisme penduduknya. Namun menurut Gita tanpa adanya pemimpin yang menghargai pluralisme Bali akan kehilangan sebagai pulau yang toleran terhadap pemeluk agama lain. Untuk menjaga itu ada tiga hal yang harus dipenuhi yaitu menghormati kesakralan, menjawab aspirasi masyarakat luas, dan pemerataan kesejahteraan.

Menariknya lagi, Gita yang kita kenal memiliki pemikiran yang seirama dengan Gus Dur ternyaat masih memiliki hubungan kerabat dengan Gus Dur melalui Mbah Hasyim Putri, isteri Rois Akbar dan pendiri Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asyari. Ini diakui oleh keluarga Gus Dus sendiri, yaitu adiknya, Lili Wahid yang saat duduk sebagai anggota DPR.

"Pak Gita punya hubungan dengan klan Mbah Hasyim Hasyari dari Mbah Hasyim Putri." kata Lili Wahid seperti dilansir Jaringnews.com, Sabtu (18/8).

Menurut Lili, keluarga Hasyim Asyari masih memiliki kerabat dengan Djojosoegito (Wirajawan Djojosoegito), ayah Gita Wirjawan dari Mbah Hasyim Putri. Keluarga Djojosoegito meski keluarga santri juga banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual.

Tak heran, Gita yang mengetahui hal ini dari langsung Lili sempat kaget. Pada kesempatan itu Lili pun berpesan jangan sampai meninggalkan akar garis keturunan.
Abu Ubaidillah Blogger Indonesia, blog saya lagi StalkinAja.id

0 Response to "Gus Dur, Bapak Pluralisme Indonesia yang Menginspirasi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel