Gaya Blusukan Bung Karno
Salah satu ciri khas Bung Karno adalah blusukan, ia senang jalan jalan dan memperhatikan kehidupan rakyat. Waktu tinggal di Jalan Pungkur Bandung, hampir tiap sore jam 4 Bung Karno naek sepedanya dan berkeliling Bandung. Awalnya Bung Karno suka ngopi di Jalan Braga, dengan kumis gaya Clark Gabble-nya Bung Karno muda menikmati sore dengan kopi tubruk dan beberapa potong pisang goreng.
Di Braga pula Bung Karno kerap berjumpa dengan tokoh tokoh pergerakan baek yang lebih senior maupun yang lebih junior seperti M. Yamin ataupun Sugondo Djojopuspito. Di Braga pula Yamin mengenalkan Sutan Sjahrir yang masih anak SMA (dulu HBS) tingkat II kepada Bung Karno. Setelah ngobrol ngalur ngidul dengan Sjahrir, Bung Karno bilang ke Yamin "Anak itu akan jadi orang besar" dan memang benar berapa puluh tahun kemudian, Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia.
Ada satu catatan kecil soal Braga ini, dari diskusi diskusi sore di Jalan Braga, tercetus keinginan Yamin untuk mengadakan "Sumpah Pemuda". Sudah jadi watak Yamin yang suka meniru, sebelum kenal Tan Malaka, M Yamin adalah "pelagak gaya Bung Karno" ia suka dengan gaya toniil Bung Karno berpidato, dari lagak lagu ikutan inilah, Yamin bikin idee soal "Sumpah Pemuda". Sebuah ide yang ia serap dari pemikiran Sukarno soal "Persatuan Nasional". Tak lama setelah Sumpah Pemuda 1928, Yamin berkenalan dengan Tan Malaka lewat buku buku politik Tan Malaka, dan sejak itulah kiblat Yamin bukan pada diri Sukarno lagi, tapi sudah ke Tan Malaka.
Kegemaran blusukan ini pula yang mengantarken Bung Karno kepada petani kecil bernama Marhaen, Bung Karno bicara pada Marhaen soal tanamannya, soal cangkulnya, soal alat alat produksinya, sehingga Bung Karno tau bahwa ada jutaan orang seperti Marhaen di Indonesia, dan mereka menjadi ciri khas orang Indonesia. "Punya alat produksi sendiri, punya lahan sendiri, cuman buat memenuhi hidup hari ini...sebenggol sehari" inilah yang kemudian Bung Karno merumuskan sebuah kelas sosial di Indonesia yang ia sebutken sebagai "Marhaen" beda dengan sebutan ala Tan Malaka untuk kaum jelata bernama "Murba" yang lebih pada kelas buruh, kaum Marhen adalah kelompok produsen kecil dan banyak jumlahnya. Kalau istilah sekarang UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Dari sini Bung Karno berpikir soal serikat serikat kerja, soal bantuan negara pada kaum usaha kecil, kaum yang bergerak dengan tenaganya sendiri di tingkatan ekonomi paling bawah.
Ketika Indonesia baru saja Merdeka, NICA memburu Sukarno hidup atau mati. Tan Malaka mendapatkan laporan intelijen dari informan-nya di Tanjung Priok bahwa Sukarno dan Hatta akan dihabisi NICA dengan dakwaan sebagai kolaborator Jepang. Akhirnya Informasi ini diberikan pada Ahmad Subardjo yang menyampaikan pada Bung Karno, dan tak lama Bung Karno dan Bung Hatta pindah ke Yogyakarta sekaligus memindahkan Ibukota RI dari Djakarta ke Jogja.
Di Jogjakarta, Bung Karno mendapatkan jaminan keamanan dari Raja Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sementara Van Mook dapat perintah dari Belanda "jangan sentuh Jogja" sehingga posisi Sukarno aman, selama dua tahun Sukarno merasakan kehangatan Jogja yang aman sebelum Belanda menyerbu Jogja dalam agresi militer Desember 1948.
Selama masa aman itu, kegemaran Blusukan Sukarno dimulai lagi, tiap sore bila tidak ada rapat kabinet Bung Karno berjalan jalan dengan sepeda melintasi persawahan di pinggiran kota Jogja. Suatu hari pernah seorang tokoh dari Kotagede KH Kahar Mudzakkir datang ke Istana Agung tempat Bung Karno tinggal, disana KH Kahar ngopi dan bercerita soal kebudayaan Jogja, tak lama kemudian Bung Karno dan KH Kahar Mudzakkir ke Kotagede dengan naek mobil studebakker melihat Masjid Perak lalu ke Pasareyan Panembahan Senopati, sepanjang perjalanan Bung Karno melihat rumah rumah orang kaya Kalang dan mengaguminya. Sore yang indah di Kotagede itu kelak akan selalu diingat terus oleh Bung Karno dan ia ceritakan berapa tahun kemudian ketika Ki Ageng Suryomentaram mengunjungi Bung Karno di Istana Merdeka Jakarta sekitar awal tahun 1950-an. Ki Ageng cerita soal Kotagede dan pencak silat bergaya Mataraman. Pencak yang didominasi oleh unsur tendangan. Lalu Bung Karno cerita soal Pencak Silat stroom, Pencak Silat tenaga dalam, "Itu Muso yang jago" kata Bung Karno kepada Ki Ageng Suryomentaram sambil mengingat kawan lamanya yang tewas setelah berontak di Madiun 1948.
Bung Karno juga senang jalan jalan dan bertemu dengan pedagang pedagang di pasar. Istilahnya dulu incognito, namun sulit bagi Sukarno untuk melakukan incognito, wajah dan suaranya amat dikenal. Saat blusukan Sukarno amat senang diskusi soal keseharian, seperti berapa harga rokok, "apakah anakmu sekolah?" atau "soal makan nasi atau jagung". Dalam obrolannya, Bung Karno kerap bercanda dengan pedagang dan suka juga melawak, sudah jadi watak Sukarno untuk menyenangkan semua orang.
Setiap setelah Blusukan di jalan Bung Karno merenungkan rakyatnya, hal ini pernah diceritakan ajudan Bung Karno yang juga dokter pribadinya di masa perang kemerdekaan, dokter suharto. Bung Karno selalu berpikir soal masa depan rakyatnya setelah merdeka, bagaimana mereka merasa bahagia, bagaimana sebuah negara bisa menjadi alat untuk membahagiakan rakyat, itu yang ada dalam pikiran Bung Karno.
Di tahun 1960-an, Bung Karno juga suka blusukan ia suka naik mobil VW combi warna biru telor kemana mana, ia lihat pasar senen. Pernah suatu kali Bung Karno pesan sate, saat ia memanggil tukang sate dan memesannya, tukang sate malah teriak "itu suara bapak...itu suara bapak", bagaimana rakyat tidak hapal bila tiap seminggu sekali mereka mendengarkan Bung Karno berpidato di RRI, dan boleh dikata pidato Bung Karno adalah suara yang paling ditunggu tunggu rakyat Indonesia.
Blusukan melihat rakyat kecil oleh Bung Karno digunakan juga sebagai komunikasi, teori paling dasar komunikasi Bung Karno adalah "Bila kau bicara dengan seseorang, gunakanlah bahasa yang ia mengerti, jangan kau belagak seperti priyayi bila bicara dengan rakyat, bicaralah dengan bahasa rakyat, bicaralah dengan alam pikirannya dari sanalah kamu akan semangkin paham apa mau rakyatmu, apa mimpi mimpi mereka...." kata Bung Karno pada Cindy Adams satu saat.......
(Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto).
0 Response to "Gaya Blusukan Bung Karno"
Post a Comment