Chaerul Saleh, Menteri Minyak Jaman Bung Karno



(ditulis oleh Anton DH Nugrahanto). 

Sebenarnya peralihan kekuasaan di Indonesia sudah dimulai sejak bulan Maret 1945, pada masa itu Jepang sudah membentuk Kepanitiaan kemerdekaan nasional, pada tahap itulah ‘Pembicaraan-Pembicaraan masuk pada persoalan-persoalan ekonomi’.

Yang paling gesit mendebat persoalan-persoalan ekonomi adalah Bung Hatta. Dalam lobi-lobi politiknya di antara bulan Mei 1945 sampai Juni 1945 kelompok Hatta meminta konsesi-konsesi atas modal swasta di Perkebunan diakhiri, inilah yang bikin Tan Tek Peng dari kelompok pemodal (Tan Tek Peng adalah Boss Oei Tiong Ham concern) menolak adanya intervensi negara dalam perkebunan, hal ini malah jadi kecurigaan pihak swasta bahwa kelak dikemudian hari ‘Indonesia berwarna merah’.
Perselisihan soal perkebunan akhirnya diakhiri dengan ikut campurnya Mayor Jenderal Nishimura, sebagai advisor atas Panitia Kemerdekaan, dalam urusan zumin (ekonomi) dimana Hatta berdebat panas dengan kelompok pemodal swasta. Nishimura meminta agar kelak bangsa yang berdiri tidak lagi ditunggangi oleh prasangka-prasangka, dan ekonomi Indonesia bisa berkembang dengan pesat. Sebenarnya apa langkah Nishimura ini melewati langkah Gunseikanbu (Setingkat Gubernur Jenderal) Jepang untuk Indonesia : Yamamoto yang sama sekali tak mengarahkan Nishimura, namun apa statemen Nishimura adalah sebuah pernyataan diam-diam agar ‘Jepang bersiap dengan ekonomi Indonesia kelak ketika Indonesia bisa merdeka’.

Perkembangan politik ternyata ke arah lain, Jepang dibredel oleh para Pemuda-Pemuda Nasionalis Kiri garis keras yang paksa Sukarno dan Hatta untuk tanda tangan Kemerdekaan tanpa endorse pihak Jepang. Di masa-masa inilah revolusi berlangsung cepat bahkan bunuh-bunuhan.

Persoalan penting soal ekonomi tak dipikir matang-matang, hanya Tan Malaka yang mampu berpikir taktis dan strategis yaitu Perang Total menguasai sumber-sumber ekonomi. Apa yang dikobarkan Tan Malaka di koran-koran dan jadi bahan diskusi pada perdebatan-perdebatan Revolusi menjadikan anak-anak muda bersenjata memihak pada gerakan Tan Malaka, sementara tentara resmi memihak pada politik diplomasi Sukarno-Hatta.

Intelijen Belanda dibawah Van Der Plas membaca laporan-laporan bahwa anak-anak Tan Malaka mengarahkan kekuatan politiknyan ke daerah kantong-kantong ekonomi, laporan ini kemudian diteruskan ke Van Mook dan melalui rapat terbatas militer di Istana Gambir, maka diputuskan bahwa Belanda akan mengoperasikan perang yang dinamakan ‘Operasi Produkt’ tahun 1947 untuk menguasai lahan-lahan sumber minyak dan kilang serta menjaga modal Belanda atas lahan tambang minyak.

Operasi Produkt, dibarengi dengan taktik diplomasi, pihak militer resmi Republik termakan taktik ini kemudian berunding soal wilayah-wilayah pendudukan, sementara pihak Laskar Rakyat terutama kelompok Tan Malaka menolak perundingan sama sekali, penguasaan tambang-tambang minyak dan perkebunan adalah ‘harga mati’ disinilah kemudian muncul istilah ‘Merdeka’ 100%.

Pada rapat politik di Purwokerto 1946, Jenderal Sudirman sudah kepincut atas ide Tan Malaka, Sudirman menasbihkan dirinya sebagai pengikut garis politik Tan Malaka, bahkan Sudirman sendiri berdiri dan bertepuk tangan saat Tan Malaka berpidato soal ‘Kedaulatan Total Republik’.

Salah satu pengikut Tan Malaka paling fanatik adalah Chaerul Saleh. Pemuda kelahiran Sawahlunto tahun 1916 adalah seorang lelaki muda yang tampan, berlagak seperti bintang film tapi amat pemberani dan nekat. Chaerul Saleh menolak semua politik Hatta dan Sjahrir yang kompromistis, seperti kolega-nya Sukarni yang juga terkenal nekat, Chaerul Saleh sering membentak para penggede Republik yang coba berani duduk satu meja dengan Belanda.

Chaerul Saleh punya pasukan sendiri namanya Pasukan Bambu Runcing, pasukan ini banyak bergerak di Banten sebagai wilayah kekuasaan mereka pertama kali pada jam-jam awal Republik, pasukan Chaerul Saleh kenal sekali dengan para jago-jago perang Banten dan membangun hubungan baik, sikap radikal Chaerul Saleh didukung oleh banyak kelompok.

Ketika Hatta melakukan politik kompromi pasca Madiun Affair 1948 dan Serangan Desember Yogyakarya 1948. Dengan politik diplomasi lewat delegasinya ke PBB serta membangun lobi-lobi di Den Haag tentang usulan pemberhentian perang yang dibantu pihak Amerika Serikat. Tan Malaka menolak keras, bahkan Sudirman pengikut fanatik Tan Malaka malah memilih bergerilya terus menolak gagasan menerima ditangkap demi lancarnya politik diplomasi, sesuai sidang kabinet terbatas di Gedong Agung Yogya, 1948.

Chaerul Saleh membangun pos-pos militer, pasukannya terus menembaki Belanda. Di Yogya dan Solo ada Serangan Umum Militer yang luar biasa hebat, bahkan di Solo pasukan yang dipimpin Slamet Riyadi mampu menjadikan kota Solo sebagai neraka dua bulan bagi pasukan Belanda. Perang Yogya dan Solo inilah yang kemudian menjadikan Amerika Serikat mendesak agar Belanda menyerah saja pada Republik.

Akhirnya untuk menghilangkan muka Belanda karena kalah atas serangan militer Indonesia, diadakan Perundingan KMB 1949 di Den Haag, hasilnya Sukarno boleh pulang ke Djakarta dan Indonesia ganti rugi soal biaya perang 1945-1949.
Chaerul Saleh marah besar, sementara Tan Malaka tak jelas rimbanya, baru diketahui Tan Malaka dibunuh di Jawa Timur. -heran bagi Chaerul Saleh, kenapa Tan Malaka musti ke Djawa Timur? bukankah basis pasukan Tan Malaka ada di Jawa Barat, ini pertanyaan besar. Jika di Jawa Barat pasti Tan Malaka akan dilindungi Pasukan Chaerul Saleh, sementara Djawa Timur Tan Malaka sama sekali tak kenal medan-nya.

Chaerul Saleh menyatakan perang dengan Pemerintahan resmi, ia gerilya dari gunung ke gunung, ia naik ke Gunung Gede, dan mendirikan benteng-benteng militer, seraya turun ke kota serta menembaki Pos-Pos Militer. laporan-laporan serangan militer sampai ke meja Nasution yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Nasution marah besar dengan Chaerul Saleh dan bersumpah menangkap Pasukan Chaerul Saleh.

Politik makin panas apalagi pasukan eks KNIL Westerling mencoba masuk ke Djakarta dengan membunuhi perwira-perwira yang sedang berjalan kaki di Jalan Lengkong, Bandung. Buruan pasukan Westerling adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Penumpasan Westerling ini kemudian dibarengi dengan operasi pasukan Republik mencari sisa-sisa laskar pemberontak lainnya, laskar penolak KMB yang juga musuh Westerling jadi sasaran pasukan TNI, termasuk pasukan Bambu Runcing Chaerul Saleh, mereka terus diburu di gunung-gunung. Tapi Chaerul Saleh sangat cerdik ia bisa meloloskan diri dari sergapan pasukan TNI.

Pada tahun 1956 di Gedung Parlemen Lapangan Banteng, empat orang anggota Parlemen dari Partai Murba (Partai Murba adalah Partai bentukan Tan Malaka tahun 1948) - Maroeto Nitimihardjo, Pandu Kartawiguna, Kobarsih dan Sudijono Djojoprajitno memukul-mukul meja Parlemen dan berteriak menolak kelanjutan KMB pada Rapat Parlemen. Usulan Maroeto ini mendapat sambutan hangat.

Maruto berkata : “Bayangkan, kita yang punya ini Republik, tapi kita hanya bengong melihat hasil-hasil kopra untuk bayar hutang KMB 1949 sebagai ganti rugi perang dengan Belanda, hasil-hasil minyak tak kita punya, kita melihat kekosongan kas Departemen Keuangan, sementara di Korea sana sedang terjadi perang dan harga-harga komoditi naik tinggi, setinggi-tingginya”.
Gerakan Maruto di Parlemen mendapatkan sambutan hangat, usulan ini menggelinding. Hingga akhirnya Parlemen memaksa Sukarno mencabut perjanjian KMB 1949. Tentulah Hatta yang tanda tangan perjanjian ini merasa malu dan tidak gentleman bila perjanjian ini dicabut begitu saja, sebagai pertanggungjawaban atas sikap gentleman-nya, Hatta akhirnya mundur di tahun 1956.

Mundurnya Hatta justru membuat bingung Partai Murba, karena Partai Murba sangat percaya pada Hatta, sementara dengan Sukarno sering bentrok. Hatta adalah orang yang teramat jujur dan paling bisa dipegang kata-katanya, begitulah penilaian Partai Murba. Untuk mendekati Sukarno, Partai Murba mengutus Adam Malik. Sementara Sukarno sendiri minta Chaerul Saleh turun gunung, soal bentrokannya dengan Nasution, Sukarno pasang badan jangan sampai Chaerul Saleh ‘diapa-apakan’.

Lalu Chaerul Saleh disuruh sekolah ke Jerman Barat. Chaerul Saleh juga mendapatkan pesan dari Partai Murba untuk mempelajari seluruh dimensi pembangunan di Jerman Barat. Disana Chaerul Saleh terpesona dengan kemajuan industri-industri besar Jerman Barat, lalu setelah sekolahnya selesai, ia membawa setumpukan map berisi dokumen-dokumen untuk rencana pembangunan industri berat yang ia akan tawarkan pada Sukarno.

Chaerul Saleh harus dicatat sebagai orang yang paling banyak menelurkan ide-ide soal kedaulatan modal dan memasukkannya itu ke dalam konstitusi. Cherul Saleh sadar untuk membangun industri berat harus ada modal dasar, maka dasar-dasar permodalan itu harus didapatkan, satu-satunya yang bisa dibangun sebagai akumulasi modal besar adalah minyak.

Akhirnya sepulangnya dari Djakarta, Chaerul Saleh bisa mendekat ke Bung Karno. Dekatnya Chaerul Saleh ke Bung Karno juga menandakan pilihan politik Bung Karno pada tahun 1957 adalah mengikuti ‘Garis Tan Malaka’ , sebuah garis politik yang ia puji pada tahun 1952, pada Kongres Murba tahun 1952 sebagai ‘Garis Kesadaranku’ , Bung Karno juga amat berterima kasih pada Partai Murba yang mengatalisator penyadaran masyarakat untuk kembali ke UUD 1945, sebagai konstitusi paling suci Republik, tahun 1956 Partai Murba-lah yang paling awal menuntut kembalinya UUD 1945.

Setelah kunjungannya ke Amerika Serikat dan Sovjet Uni, Bung Karno sadar : “Saat ini bangsa-bangsa maju sedang rebutan minyak”. Ada yang diserbu dan digasak dengan cara kasar, seperti Korea atau Vietnam ada yang didekati secara halus seperti Arab Saudi dan Negara Timur Tengah lainnya. Indonesia sedang dipengaruhi cara halus, tapi tak mungkin Amerika Serikat bisa main kasar.

Saat itu Industri minyak kita dikuasai hanya tiga pemain besar dan itu modal asing semuanya : Shell, Caltex dan Stanvac. Bung Karno di tahun 1959, menggelorakan pidato : “Penemuan Kembali Revolusi Kita” di dalam pidato itu ada pesan tersembunyi : ‘Untuk Perang kembali merebut lahan-lahan konsesi yang dikuasai modal asing dan mendikte mereka bekerja kepada kita pemilik resmi tanah Republik’. Pesan tersembunyi ini ditangkap dengan jelas oleh Chaerul Saleh sebagai Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan.

Chaerul Saleh menyusun UU yang membatasi Konsesi. Apa itu konsesi? Konsesi adalah penguasaan lahan secara total, jadi ada semacam kantong-kantong wilayah yang orang Indonesia sendiripun tidak bisa masuk, di alam realitasnya, pertambangan-pertambangan itu menjadi kota sendiri yang tidak bisa dimasuki rakyat Indonesia bahkan setingkat Menteri sekalipun. Inilah yang bikin Chaerul Saleh marah.

Chaerul Saleh juga sudah melihat prestasi besar Ibnu Soetowo, pemimpin Permina (Perusahaan Minyak Negara) yang bisa membangun armada kapal tanker dengan strategi bisnis yang brilian, Chaerul Saleh berambisi agar Permina jadi perusahaan minyak terbesar di Asia dan dunia serta jadi tambang atas modal-moda dasar pembentukan BUMN yang bisa menjadi kekuatan ekonomi politik Indonesia.

Chaerul Saleh kemudian membuat RUU Minyak yang anti konsesi asing, atas lobi-lobi dari kawan-kawan Chaerul Saleh di Parlemen, RUU ini gol, lalu disahkan sendiri oleh Sukarno menjadi UU Minyak No. 44. Undang-Undang inilah yang bikin Sukarno gebrak meja dengan Perusahaan minyak asing untuk merevisi lagi kontrak-kontrak pertambangan di Indonesia.

Isi terpenting UU itu adalah :
“Pertambangan Minyak dan Gas Bumi hanya diusahakan oleh Negara, dan pelaksanaannya dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata”.

Isi UU No.40 inilah yang kemudian bikin marah banyak perusahaan asing, meningkatkan tensi intelijen serta menjadikan Sukarno sebagai musuh bersama. Tapi Sukarno melawan, ia dengan cerdas merebut Irian Barat dari Belanda dan berpidato di depan Front Nasional 3 Mei 1963 :

“Tidak ada lagi bayi-bayi yang kelaparan dibawah Kemakmuran Ekonomi Indonesia”
Atas fasilitas keberanian Sukarno inilah, Chaerul Saleh menggebrak dengan cepat industrialisasi di Indonesia, Krakatau Steel dibangun, Pupuk Sriwijaya dibangun seluruh industri-industri digerakkan dengan cepat dan Indonesia diarahkan menjadi negara terkuat industrinya dengan ekonomi berdikari. Diharapkan pada tahun 1975 Indonesia jadi negara terkaya di Asia, dengan modal minyak, gas dan perkebunan yang dikuasai negara.

Pasca Irian Barat perang Intelijen menjadi begitu genting, PKI sering offside dalam aksi-nya yang memancing kemarahan Angkatan Darat dan pihak Agama. Masalah UU Agraria jadi bahan percekcokan di lapangan. Ujungnya Gerakan Untung 1965 jadi alat bagi kelompok anti Sukarno mendongkel Pemerintahan Sukarno sekaligus mengakhiri politik Nasionalisme Tambang Minyak dan Gas.

Pendongkelan Sukarno, diiringi juga pendongkelan Chaerul Saleh,. Ia ditangkap di rumahnya dan dipenjara di RTM Salemba. Chaerul Saleh tiba-tiba meninggal di tahanan, kabarnya di dalam WC ia terjatuh. Ketika jenazah Chaerul Saleh dibawa ke rumahnya, Sukarni sahabat Chaerul Saleh marah-marah pada Adam Malik sesama anggota Partai Murba yang jadi anggota Triumvirat Suharto, karena Adam Malik tak mampu melindungi Chaerul Saleh.

Sampai saat inipun kesalahan Chaerul Saleh tidak ada, karena Pemerintahan Suharto tidak mengeluarkan pernyataan resmi. Hanya penjelasan sedikit yaitu soal ‘ekonomi’ tapi tak ada definisinya. Sukarno dan Chaerul Saleh mati demi membela kepentingan kekayaan Indonesia, menjaga tambang minyak, gas dan batubara untuk kepentingan nasional. Sudah saatnya sejarawan membongkar redaksional politik minyak Chaerul Saleh 1960-1965 serta kemandirian nasional politik minyak Ibnu Soetowo yang setia pada garis Chaerul Saleh untuk membuka tabir bahwa bangsa ini pernah berani melawan dominasi modal asing yang menjadikan bangsa ini tetap miskin walau kaya minyak dan tambang-tambang lainnya.
Adakah pemimpin masa mendatang ikut jejak Bung Karno dan Chaerul Saleh?

-Ditulis oleh Anton DH Nugrahanto-.
Sumber Bacaan :
-Ayahku Maroeto Nitimihardjo (mengungkap rahasia kemerdekaan), Hadidjojo Nitimihardjo--Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan, Twang Peck Yang-Ibnu Soetowo : Saatnya Saya Bercerita! - editor Ramadhan KH--Biografi Chaerul Saleh-Sukarno Biography-.
Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto
Abu Ubaidillah Blogger Indonesia, blog saya lagi StalkinAja.id

0 Response to "Chaerul Saleh, Menteri Minyak Jaman Bung Karno"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel